Tanah Lumpur Lapindo |
Sabtu (05/05) sore saya pergi menyambangi Lumpur Lapindo di daerah Porong-Sidoarjo. Dalam radius empat kilometer dari pusat semburan, bau belerang sudah menyengat. Angin yang kencang semakin membuat bau tak sedap itu menusuk hidung saya. Cuacanya pun panas dan tak seperti panas yang saya rasakan biasanya.
Baru pertama kali ini saya menginjakkan kaki disana. Melihat genangan air, lumpur, dan gas bercampur menjadi satu. Sebanyak enambelas Desa dari tiga Kecamatan terendam tak bersisa. Ketika sedang mengambil beberapa gambar dari sana, seorang bapak-bapak mendekati saya, Yudi namanya. Bapak dua anak ini banyak bercerita pada saya mengenai tragedi Lumpur Lapindo. "Banyak yang stress, mbak" ujarnya.
Dua Narasumber Saya, Pak Untung dan Pak Yudi |
Pria asal Desa Jatirogo ini, kini beralih pekerjaan menjadi tukang ojek dan penjual CD di didekat tanggul. Sebelum kejadian, ia menjadi pegawai di pabrik dan penghasilannya terhitung cukup untuk memenuhi kebutuhan. Kini semua sudah berubah, penghasilan Yudi yang tak tentu, membuat ia gali lubang tutup lubang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Uang ganti rugi yang masih dibayar 20% atau sekitar Rp 20.000.000 dari total Rp 100.000.000 pada tahun 2007, sudah habis digunakan untuk mengontrak rumah, melanjutkan pendidikan adik dan kedua anaknya serta memenuhi kebutuhan lainnya.
Saat saya sedang mengobrol dengan Yudi, datanglah Untung, korban Lumpur Lapindo sekaligus Seksi Dokumentasi dan Pengadaan disekitar sana. Akhirnya, saya diajak ke Desa Renokenongo yang menjadi pusat semburan untuk melihat dari dekat. Dari jarak kurang dari 200 Meter, saya menyaksikan bagaimana semburan lumpur masih aktif. Diameter lubang, kini sudah mencapai 60 Meter.
Aliran lumpur ke Kali Brantas |
Seng terlihat di Desa Jatirejo |
Tak jauh dari sana, diatas tanggul juga, saya menjumpai korban Lumpur Lapindo sedang berdemo. Mereka menuntut pelunasan 80% dari ganti rugi. Demo dilakukan setiap hari selama sebulan, namun hasilnya belum jelas.
Demo diatas tanggul |
Disana juga saya jumpai beberapa orang sedang asyik berfoto diatas tanggul layaknya sedang berwisata. Menurut Untung, memang setiap hari banyak orang bertandang kesana, apalagi hari libur. Namun, ia menolak jika Lumpur Lapindo disebut sebagai tempat wisata. “Bukannya tempat wisata lho ini mbak. Ini dibilang tempat wisata itu jangan, karena ini kan tragedi. Biar orang tahu saja.” Katanya.
Karena masih penasaran, saya pun mendatangi salah seorang pengunjung yang sedang asyik berfoto-foto disana. Saya menanyakan sebenarnya apa yang mereka lakukan di tempat tersebut. Selain ingin melihat bagaimana bencana alam, ternyata Faisal juga ingin melihat nasib korban.(pch)
Karena masih penasaran, saya pun mendatangi salah seorang pengunjung yang sedang asyik berfoto-foto disana. Saya menanyakan sebenarnya apa yang mereka lakukan di tempat tersebut. Selain ingin melihat bagaimana bencana alam, ternyata Faisal juga ingin melihat nasib korban.(pch)